Rasa bahagia tak selamanya menghampiri hati tiap anak manusia.
Tapi malam yang gelap akan selalu hadir menyelimuti dunia mereka.
Terkadang dingin, terkadang dengan cahaya bintang, terkadang pengap,
terkadang tanpa bintang. Malam penuh dengan cerita gemerlap bahkan
misteri gelap yang terselubung.
Tok tok tok ….
“Pak Rian? Pak Rian?”.
“Siapa
yang mengetuk pintu larut malam begini?”, gerutuku sambil melihat
arloji dan mengambil kemejaku. Saya pun menuju ke pintu depan untuk
melihatnya.
“Bapak Rian?”.
“Iya, benar. Ada yang bisa saya
bantu, pak? Dengan bapak siapa yah?”, dengan kening berkerut aku
memandang wajah tamuku itu. Berharap mendapat petunjuk mengenai jati
dirinya. Satu hal yang dapat kusimpulkan dari melihatnya pertama kali
adalah umur orang ini mungkin sekitar lima puluh tahun atau lebih dan
memiliki perangai yang santun, terlihat dari caranya berdiri dan
berbicara.
“Saya Eko, saya tetangga baru bapak”, sambil menunjuk
ke arah samping, tepatnya rumah di sebelah kiri rumahku yang memang
sudah lama ditinggal dan dijual oleh pemilik sebelumnya.
“Ooh, tetangga baru rupanya. Mari masuk dulu, pak”, kecurigaanku yang mendalam seketika mencair menjadi keakraban.
“Tak
usah Pak Rian, saya cuma mau menanyakan alamat pak RT kampung ini.
Dimana yah?”, tanya sang bapak sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Rumah
pak RT agak jauh sih, pak. Mau saya antar? Tapi, alangkah bagusnya
kalau besok pagi saja. Nanti saya temani, karena sudah malam kan, pak.
Sudah pukul 23.15”.
“Baiklah Pak Rian. Terima kasih banyak saya pamit dulu”.
“Iya, pak. Sama-sama”.
Aku
menunggu tetanggaku keluar pintu pagar untuk kemudian menutup pintu.
Tiba-tiba angin malam yang dingin menyambar lenganku, menyadarkanku akan
sesuatu. Sesuatu hal yang mungkin akan mengganggu tidurku di malam ini.
Aku kemudian menutup pintu rumah, lalu berlari ke kamar Busrah, serumahku.
“Bus, kamu udah dari beli mie instannya?”, tanyaku sambil mengetuk pintu kamarnya.
“Iya, sudah. Pesananmu ada di meja makan”, katanya dengan suara tinggi. Sepertinya ia sedang memakai headset.
“Pintu depan?”, lanjutku dengan cemas.
“Udah saya gembok, kok”, lagi dengan suara tinggi. Jawabannya sudah kuduga.
Seketika
aku terdiam depan pintunya, tak tahu masalah apa yang terjadi. Lalu aku
mencoba berpikir jernih. Meminum segelas air putih dimeja tamu.
Kemudian keluar untuk mengecek pintu pagar. Benar, memang tidak
terkunci. Aku pun mengambil kunci di saku celanaku lalu menguncinya
dengan pasti. Kembali angin malam menyambar lenganku. Membuat
rambut-rambut halus lenganku berdiri. Aku memandang ke kiri ke rumah
tetangga baru kami. Gelap. Masih seperti malam sebelumnya ketika tak
berpenghuni.
Aku masuk kembali ke rumah, mencoba memendam
rasa merindingku seorang. Tapi sesuatu kembali mengganggu pikiranku.
Darimana tetangga baruku ini tahu nama panggilanku?
Riandhika
Pratama, itu nama lengkapku. Umurku 26 tahun tepat di bulan ini.
Sekarang saya tinggal jauh dari keluarga. Saya tinggal di rumah sewa di
sebuah daerah di Jakarta bersama teman saya Busroh yang seorang PNS
muda. Saya belum bekerja, saat ini saya melanjutkan kuliah magister.
Sebelumnya saya merantau dari tempat kelahiran saya, Makassar, untuk
kuliah S1. Yah, setelah sarjana saya memutuskan untuk tetap tinggal
melanjutkan studi di ibu kota.
SHFB//M/290813/MTB/001
Bersambung>>>


0 komentar:
Posting Komentar